Buddha Gautama menerima dan
melanjutkan ajaran agama Brahma/Hindu tentang Karma, yakni hukum sebab-akibat
dari tindak-laku di dalam kehidupan, dan ajaran tentang Samsara, yakni lahir
berulangkali ke dunia sebagai lanjutan Karma; dan ajaran tentang Moksha, yakni
pemurnian hidup itu guna terbebas dari Karma dan Samsara.
Sekalipun
Buddha Gautama menerima ajaran tentang Karma dan Samsara itu akan tetapi dia
menyelidiki dan meneliti pangkal sebab dari keseluruhannya itu, dan merumuskannya
di dalam Empat Kebenaran Utama.
Sekalipun
Buddha Gautama menerima ajaran tentang Moksha itu, akan tetapi dia tidak dapat
menerima dan membenarkan upacara-upacara kebaktian penuh korban bagi mencapai
Moksha itu; dan lalu menunjukkan jalan yang hakiki bagi mencapai Moksha yang
dirumuskannya dengan Delapan jalan Kebaktian.
Kotbah
Pertama dari Buddha Gautama di Isipathana, dalam Taman Menjangan, dekat
Benares, berisikan uraian panjang lebar mengenai Empat Kebenaran Utama dan
Delapan Jalan Kebaktian itu, yang keseluruhan uraian itu disimpulkan sebagai
berikut:
Empat
Kebenaran Utama :
- Ada itu
suatu Derita (Dukkha).
- Derita
itu disebabkan Hasrat (Tanha).
- Hasrat
itu mestilah Ditiadakan.
- Peniadaan
itu dengan Delapan Jalan.
Delapan
Jalan Kebajikan :
- Pengertian
yang Benar (Samma-ditthi).
- Maksud
yang Benar (Samma--sankappa).
- Bicara
yang Benar (Samma-vaca).
- Laku
yang Benar (Samma-kammarta).
- Kerja
yang Benar (Samma-ajiva).
- Ikhtiar
yang Benar (Samma-vayama).
- Ingatan
yang Benar (SaJnma-sati).
- Renungan
yang Benar (Samma-samadhi)
Di
dalam Sutta-pitaka, pada bagian Dhammapada, dikisahkan bahwa sewaktu roda
Doktrin itu mulai digerakkan oleh sang Buddha Gautama maka para dewa di Bumi
dan di langit hiruk-pikuk, sampai pun kepada Brahma sendiri, karena doktrin itu
"suatu roda yang belum pemah digerakkan selama ini oleh seorang pertapa,
brahmin, dewa, mara, brahma, atau oleh siapa pun di dunia."
Demikian
Dhummpada, di dalam Sutta-Pitaka, mengagungkan doktrin yang paling sentral di
dalam al!ama Buddha itu.
Triratna
Triratha
itu bermakna : Tiga Permata. Dimaksudkan tiga buah Pengakuan dari setiap
penganut agama Buddha, seperti hal- nya dengan Credo di dalam agama Kristen
ataupun Syahadat di dalam agama Islam. Tiga Pengakuan di dalam agama Buddha itu
berbunyi :
Buddham
saranam gacchami.
Dhammam
saranam gacchami.
Sangham
saranam gacrhami
Bemakna
Saya
berlindung di dalam Buddha.
Saya
berlindung di dalam Dhamma.
Saya
berlindung di dalam Sangha.
Triratna
itu harus diucapkan tiga kali. Pada kali yang kedua diawali dengan Dutiyam,
yang bermakna : buat keduakalinya. Pada kali yang ketiga diawali dengan
Tatiyam, yang bermakna: buat ketiga kalinya.
Buddha
di dalam Triratna itu dimaksudkan : Buddha Gautama. Dhamma disitu dimaksudkan :
pokok-pokok ajaran. Sangha disitu dimaksudkan : biara. Ketiga-tiganya itu
dinyatakan azas perlindungan bagi setiap penganut agama Buddha, yakni azas
keyakinan yang dianut mazhab Theravada maupun mazhab Mahayana.
Alam
semesta dan alam gaib.
Siddharta
Gautama tidak menolak dan tidak pula memper- kembang ajaran tentang alam
semesta dan alam gaib, dengan arti, tidak hendak berbicara tentang itu. Di
dalam Sutta-Pitaka, pada bagian Majjhima-Nikaya dalam Sutta 63, diceritakan
bahwa seorang murid bernama Malunkyiaputera bertanyakan hal itu dan Buddha
Gautama memberikan jawabannya, katanya :
"Kehidupan
beragama itu, Malunkyiaputera, tidak tergantung pada ajaran bahwa alam itu
abadi; sebaliknya kehidupan beragama itu, hai Malunkyiaputera, tidak tergantung
pada ajaran bahwa alam itu tidak abadi. Sekalipun ajaran serupa itu ada,
Malunkyiaputera, bahwa alam itu abadi atau alam itu tidak abadi, tetapi disitu
tetap ada kelahiran, usia tua, maut, duka, ratapan, derita, kemalangan, dan
kekecewaan, yang peniadaan seluruhnya di dalam kehidupan, sengaja saya uraikan.
Karena
itu hai Malunkyiaputera, tanamkan dalam ingatan akan apa yang tidak saya
jelaskan, dan akan apa yang saya jelaskan. Dan apakah, hai Malunkyiaputera,
yang tidak saya jelaskan ?
Saya
tidak menjelaskan, hai Malunkyiaputera, bahwa alam itu kekal; saya tidak
menjelaskan bahwa alam itu tidak kekal saya tidak menjelaskan bahwa alam itu
terbatas; saya tidak menjelaskan bahwa alam itu tidak terbatas; saya tidak
menjelaska bahwa jiwa dan tubuh itu bersamaan; saya tidak menjelaska bahwa jiwa
itu lain dan tubuh itu lain; saya tidak menjelaska bahwa orang-suci itu tidak
hidup kembali sesudah mati; saya tidak menjelaskan bahwa orang-suci itu bukan
hidup dan bukan tidak-hidup kembali sesudah mati.
Dan
kenapa, hai Malunkyiaputera, saya tidak hendak menjelaskannya ? Sebabnya.
Malunkyiaputera, hal itu tidak menguntungkan, bahkan tidak ada sangkut-pautnya
dengan hal-hal yang paling azasi dalam agama, malah tidak mengarah kepada
pencegahan dan peniadaan nafsu, perhentian, ketenangan, pembebasan, hikmat tinggi,
dan Nirwana. Justru karena itu saya tidak hendak menjelaskannya……."
Demikian
Sakyamunj mengemukakan pendiriannya mengenai masalah-masalah yang bersipat
filsatat, baikpun mengenai alam semesta maupun alam gaib. Tidak hendak
berbicara tentang asal-usul alam semesta dan bagaimana timbulnya dan siapa
penciptanya, la lebih menitik-beratkan ajarannya pada bimbingan yang praktis
bagi perbaikan hidup manusia. Justru karena itu biara dan tempat-tempat
kebaktian pada masa hidupnya tidak berhiaskan apapun. Segala-galanya dalam
bentuk sederhana dengan tujuan hidup suci, yakni moksha.
Terhadap
pendirian Sakyamunj itu ada pihak yang menapsirkan, yakni dalam kalangan
sarjana-sarjana agama perbandingan, bahwa agama Buddha itu pada hakikatnya
Atheistis, yakni tidak mempercayai kodrat gaib apapun juga. Akan tetapi
penapsiran serupa itu tidak tepat. Tidak hendak memcarakannya bukan bermakna
tidak mempercayainya.
Di
dalam agama apapun juga, termasuk agama Yahudi dan Kristen dan Islam, ada
aliran yang berpendirian bahwa dalam masalah-masalah metafisika itu Akal akan
tidak mampu mencapai hakikat dan kebenaran secara pasti. Justru di dalam hal
itu Akal mestilah menundukkan diri kepada Wahyu. Di dalam agama Islam,
pendirian serupa itu dianut oleh aliran Salaf.
Immanuel
Kant (1724-1804), ahlipikir Jerman terbesar menjelang pengujung abad ke-17
masehi, telah membuktikan ketidak-mampuan Akal bagi mencapai kepastian dalam
masalah- masalah metafisika itu dengan mengemukakan Empat Antinomi di dalam
karyanya Critique Of Pure Reason.
Atas
dasar itulah harus dipahamkan dan ditapsirkan apa yang dinyatakan oleh
Siddharta Gautama itu, seperti termuat di dalam Sutta-Pitaka pada bagian
Majjhima-Nikaya itu.
Penghapusan
kasta masyarakat.
Kasta
Brahmin di dalam agama Brahma/Hindu merupakan kasta paling mulia dan kasta
Sudra merupakan kasta paling hina. Buddha Gautama menolak pembagian lapisan di
dalam masyarakat.
Di
dalam Sutta-Pitaka pada bagian Dhammapada, yakni dalam Sutta 26 :3, Buddha
Gautama berkata : "Saya tidak menyebut seseorang itu Brahmin, karena
turunannya ataupun karena ibunya. Orang serupa itu congkak dan kaya. Tetapi
orang melarat yang terbebas dari segala godaan shahwati, dia itulah yang saya
panggilkan Brahmin."
Ajaran
itu amat "revolusioner" buat masanya itu. Dan, karena itulah agama
Buddha itu cepat meluas dan berkembang pada anakbenua India dan sebaliknya
agama Hindu makin ter- desak dan tersudut.
Konsili
Pertama
Taklama
sesudah Buddha Gautama meninggal pada tahun 483 sebelum Masehi maka sejumlah
900 orang Murid Terutama berkumpul di Rajagriha. Disitu dibicarakan dan
dirumuskan sari ajaran Sakyamuni tentang pokok-pokok ajaran (Dharnma) dan
tentang peraturan beserta tata tertib (Vinaya) yang harus ditaati setiap bikkhu
dan bikkhuni dalam masyarakat biara (Sangha).
Musyawarah
besar di Rajagriha itu, pada perempat terakhir dari abad ke-5 sebelum Masehi,
terpandang Konsili Pertama dalam sejarah agama Buddha. Perumusan sari-sari
ajaran Sakyamuni itu diwariskan turun temurun secara lisan seperti kebiasaan
yang berlaku pada masa itu, belum sipat tertulis. Perikeadaan itu serupa dengan
hirnpunan Al-Hadits di dalam sejarah agama Islam, yang pada abad ke-2 dan abad
ke-3 sepeninggal Nabi Muhammad, barulah dikumpulkan secara tertulis.
Konsili
Kedua
Satu
abad kemualan, yakni pada pertengahan abad ke-4 sebelum Masehi, berlangsung
musyawarah lagi di Vaisali mengenai peraturan beserta tata tertib (Vinaya) yang
harus ditaati setiap rahib dalam masyarakat biara (Sangha). Musyawarah di
Vaisali itu merupakan Konsili Kedua dalam sejarah agama Buddha.
Di situ
bermula perpisahan dua aliran:
Golongan
Konservatif yang menyebut dirinya Sthaviravadins, yang pada masa belakangan
lebih dikenal dengan aliran Theravada, bersikap mempertahankan kesederhanaan
ajaran Sakyamuni.
Golongan
Liberal yang memberikan penapsiran-penapsiran lebih bebas atas ajaran Sakyamuni
dan menyebutkan dirinya Mahasanghikas, yang pada masa belakangan lebih dikenal
dengan aliran Mahayana
Kira-kira
pada masa inilah disusun Empat Himpunan Baru di dalam Sutta-Pitaka, yang satu
persatu himpunan itu dipang- gilkan Nikaya. Tahadinya Sutta-Pitaka itu cuma
terdiri atas Digha Nikaya, terdiri atas 34 sutta. Sebagiannya amat terkenal dan
sebagiannya lagi sedikit saja dipergunakan pada umumnya.
Paling
terkenal di antara 34 sutta itu ialah Maha-parinib- bhana-sutta (Book.of Great
Decease, Sutta tentang Kemangkatan Terbesar), berisikan berbagai pembahasan
pada masa tiga bulan terakhir dari kehidupan Buddha Gautama beserta
ucapan-ucapannya yang hampir-hampir dapat dipastikan otentiknya
Empat
Himpunan Baru itu ialah :
- Majjhima
Nikaya, atau sutta yang sedang saja panjangnya, terdiri atas 152
sutta yang sipat isinya pendek-pendek, terbagi ke dalam 15 buah vaggha, yaitu
kelompok masalah.
- Samyutta
Nikaya, berisikan 56 buah kelompok-Sutta (samyutta) berkenaan
dengan pokok-pokok soal ataupun berkenaan dengan tokoh-tokoh utama. Diantara
isinya sebuah versi tentang Khotbah Pertama di Benares, dikenal dengan Kotbah
Penggerak Roda (Wheel-turning-Sermon}, sesudah Siddharta Gautama beroleh
pencerahan di bawah pohon-Hikmat.
- Anguttara
Nikaya, berisikan 2.308 sutta, tersusun dalam 11 buah Nipata,
yaitu kelompok, masalah. Masalah pertama berbicara tentang Buddha. Kelompok
kedua berbicara tentang dua macam Buddha, dua macam tata laku dalam
rimba-hidup. Kelompok ketiga berbicara tentang tiga macam rahib. Kelompok
keempat berbicara tentang empat macam jalan menuju Nirwana. Begitu seterusnya
sampai kelompok kesebelas yang berbicara tentang sebelas macam kebajikan dan
sebelas macam kemunkaran.
- Kuddhaka
Nikaya, kumpulan berbagai sutta, berisikan pembahasan tentang
hal-hal yang tidak termasuk dalam kelompok Nikaya lainnya. Di dalam himpunan
ini diantara lain dijumpai Kuddhaka--patha, tentang pokok-pokok azasi dari
kehidupan Buddha; dan Metta sutta tentang pengertian dan kegunaan cintakasih
bagi tata-hidup manusia; dan Mahamangala-sutta tentang berbagai kerahiman yang
dipandang paling terbesar; dan Dhammapada berisikan 423 bait sajak terbagi atas
26 vaggha (bab) membicarakan tentang nilai-nilai (ethika) yang merupakan pegangan
hidup dan merupakan sutta paling terkenal dari seluruh kitab suci agama Buddha.
Di antara lainnya dijumpai pula Theragatha dan Therigatha. yaitu nyanyian
keagamaan untuk rahib lelaki dan nyanyian keagamaan untuk rahib wanita, yang
kedudukannya mirip dengan Kitab Mazmur di dalam agama Yahudi dan agama Kristen.
Juga di dalam himpunan Kuddhaka Nikaya itu terdapat kumpulan kisah-kisah Jataka
(Dzanecka) tentang berbagai kehidupan yang lebih duluan dari Buddha pada
berbagai penjelmaannya.
Itulah
empat himpunan baru yang berupa tambahan terhadap Sutta'--Pitaka dan disusun
sehabis Konsili Kedua. Terlebih khusus merupakan pegangan bagi mazhab
Mahasanghikas (Maha- yana).
Konsili
Ketiga.
Pada
tahun 327 sebelum Masehi terjadi penyerbuan Iskandar Makedoni (356-323 SM) dari
Asia Tengah melalui Khyber Pass ke dalam anak benua India, menempatkan seorang
panglimanya menjabat gubernur India berkedudukan di kota Taksila, yang dewasa
ini terletak dekat Pashawar. Pengaruh kekuasaan Grik pada anakbenua India itu
tampak pada senipahat dan seni bangunan beserta pengaruh mithologi Grik itu
tampak pada perkembangan keyakinan keagamaan di dalam agama Brahma/Hindu di
India, yakni muncul keyakinan Trimurti dan Trishakti beserta pemujaan dewa-dewa
lainnya.
Kekuasaan
Grik itu sempat berkuasa seperempat abad lamanya dan pada akhimya ditumbangkan
oleh dinasti Maurya. (321-184 SM), yang dibangun oleh Chandragupta berkedudukan
di Pataliputra (Patna), la berhasil merebut ibukota Taksila itu dari tangan
Selaucus Nicator pada tahun 305 sebelum Masehi.
Pada
tahun 274 sM cucunya Kaisar Asoka (274 -236 sM) naik berkuasa, dan ditangan
cucunya itu, dinasti tersebut merupakan imperium besar tiada taranya
pada.anakbenua India. Kaisar Asoka itu pada akhirnya melepaskan agama Hindu dan
memeluk agama Buddha dan mengumumkannya Agama-Resmi dalam imperium India. Agama
itu mencapai puncak kemegahannya tiga abad sesudah Buddha Gautama meninggal
dunia.
Pada
tahun 244 sebelum Masehi berlangsung Konsili Ketiga di Pataliputera (Patna),
ibukota imperium, atas anjuran Kaisar Asoka. Pada masa itulah pokok-pokok
ajaran Budha Gautama itu mulai disusun secara tertulis di dalam bahasa Pali,
terdiri atas tiga himpunan, dan tiga himpunan itulah yang disebut Tripitaka.
Jarak
masa antara Sakyamuni dengan penyusunan himpunan tertulis itu telah berlalu
tiga abad lamanya. Dalam masa yang panjang itu telah berlaku
penapsiran-penapsiran lebih bebas dari oihak Mahasanghikas. Dengan begitu telah
sulit membedakan manakah yang betul-betul ucapan Buddha Gautama, karena
semuanya disandarkan pada sabda Buddha Gautama.
Dalam
pada itu Kaisar Asoka, demikian William L. Langer di dalam Encyclopedia of
World History edisi 1956 halaman 42, mengirimkan missi-missi Buddha ke berbagai
penguasa
di luar anakbenua India, diantaranya ialah : Syria, Egypte, Cyrene (Lybia),
Makedonia, dan Epirus (Grik). Tetapi cuma memperlihatkan hasil gemilang di
Sailan dan di Birma.
Sekalipun
pada tempat-tempat lainnya itu agama Buddha tidak berkembang seperti di Sailan
dan di Birma itu akan tetapi pengaruh ajarannya cukup kuat mempesonakan
kalangan terpelajar disitu hingga meresapi berbagai aliran filsafat, umpamanya
Stoicism dan Neoplatonism. Sedangkan aliran Neoplatonism itu, yang sejak abad
ke-3 masehi meresapi agama Kristen melalui St. Augustinus (354 -430 M),
melahirkan sistem rahib dan biara dalam dunia Kristen.
Kemunduran
agama Buddha di India.
Dinasti
Maurya (321-184 sM) itu pada akhirnya ditumbangkan oleh dinasti Sungga (184
sM-78 M) pada tahun 184 sebelum Masehi. Dinasti baru itu mengambil kaum Brahmin
menjadi penasihat-penasihat kerajaan (Kanvas). Mereka itu melakukan tekanan
keras terhadap pengikut agama Buddha hingga akhirnya pengaruh agama Buddha, itu
berangsur-angsur susut pada anak benua India.
Tetapi
sejak tahun 78 sebelum Masehi terjadi pemberontakan di sana-sini, yang
berkelanjutan dekat satu abad lamanya, dan terbentuk kembali penguasa-penguasa
setempat yang menyatakan dirinya bebas dan berdaulat. Sekalipun begitu, satu
persatunya tetap mempertahankan agama Hindu dan melakukan tekanan terus-menerus
terhadap agama Buddha.
Konsili
Keempat.
Pada
masa itulah berlangsung Konsili Keempat di kota Jalandra dalam wilayah Punjab
(Pertemuan Lima Sungai) dibawah prakarsa sekta Sarvastivada, yaitu pecahan
mazhab Theravada. Tripitaka disalin ke dalam bahasa Sanskrit. Dibalik itu
disusun bungarampai dalam bahasa. Sanskrit, bernama Agamas, bersamaan isinya
dengan Nikaya.
Di
sekitar masa itulah agama Buddha terpecah kedalam dua mazhab besar, berdasarkan
bibit-bibit yang telah tumbuh sebelumnya, yang pokok keyakinan maupun pokok
ajaran sudah sangat berbedaan, yaitu .
Hinayana.
(Kereta Kecil), yang ingin mempertahankan kesederhanaan ajaran Sakyamuni. Nama
itu diberikan oleh lawannya. Sedangkan para pengikut mazhab itu tetap
mempertahankan namanya yang asli, yaitu Theravada, yakni aliran Tokoh-Tokoh
Tertua (the Elders).
Mahayana,
(Kereta-Besar), yang bersikap mempertahankan penapsiran atas setiap ajaran
Sakyamuni, sebagai lanjutan dari sekta Mahasanghika; memusatkan pemujaannya
pada pribadi Buddha, dan memperkembang ajaran tentang kodrat-kodrat gaib yang
dipanggilkan dengan Bodhisatvas.
Di
sekitar masa itulah disusun tujuh buku Abhidhamma dalam bahasa Sanskrit
berisikan pembahasan-pembahasan yang filosofis atas setiap ajaran dan keyakinan
keagamaan. Tujuh buku Abhidhamma itulah, beserta Mahayana-Sutras lainnya yang
disusun pada masa belakangan, dipanggilkan dengan himpunan tennuda.
Sepeninggal
dinasti Kushana (78-178 M) itu, yakni semenjak abad ketiga masehi, pengaruh
agama Buddha pada anakbenua India makin mundur. Menjelang pertengahan abad ke-5
masehi lantas pengaruhnya itu lenyap dari bumi India, kecuali kelompok-kelompok
kecil pada pusatnya masing-masing, dan sebaliknya berkembang dengan luas di
Sailan, Birma, Muang- thai, Kamboja, Laos, Annam, dan terlebih-lebih di
Tiongkok dan Korea dan Jepang.