Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) |
Perlahan namun pasti Indonesia berencana
mengembangkan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir. Peraturan Pemerintah No.43/2006
tentang perizinan Reaktor Nuklir tertanggal 15 Desember 2006 lalu, merupakan
momentum awal kebijakan pemerintah Indonesia mengenai PTLN. Kini, tinggal
menunggu dikeluarkannya Keppres bagi kalangan investor untuk terlibat dalam
pengembangan PLTN di Indonesia. Namun, mengapa sebagian masyarakat menolak
keras?
Energi nuklir untuk tujuan sipil seperti reaktor
nuklir pembangkit daya mulai gencar dikampanyekan setelah konferensi Genewa
"On the peaceful uses of atomic energy" yang di sponsori PBB sekitar
1955. Pada mulanya perjanjian ini disepakati lima negara besar pemilik senjata
nuklir, dengan tujuan agar tidak melakukan transfer teknologi senjata nuklir ke
negara lain. Selain itu, untuk pengurangan produksi dan penghancuran senjata
nuklir saat itu.
Hingga 1973 Amerika Serikat mengalami embargo
minyak. Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) mampu membantu negara Paman Sam
tersebut mengatasi krisis energi. Sekitar 17% sumber listrik dipasok dengan
membakar minyak dan hanya 5% dipasok dari energi nuklir. Namun, dalam waktu 20
tahun kemudian (1993) sumber listrik dari minyak bumi hanya sekitar 3%,
sedangkan pasokan listrik energi nuklir naik menjadi 20%. Di Jepang, desain
PLTN dibangun anti gempa sehingga mampu beroperasi dan memasok listrik kala
gempa dasyat melanda sekitar musim dingin 1995. Lain halnya dengan Korea
Selatan, pengembangan PLTN mampu meningkatkan pendapatan per kapita
masyarakatnya, dari semula 400 dolar AS/tahun pada 1970 menjadi 10.000 dolar
AS/tahun pada 2000.
Kendati dinilai menguntungkan bagi masyarakat di
beberapa negara, namun Indonesia tidak serta merta mengambil keputusan serupa
meskipun dalam beberapa tahun ini sudah mengalami kesulitan pasokan BBM untuk
pembangkit listrik. Beberapa pengamat energi bahkan memprediksikan, Indonesia
akan menjadi negara pengimpor minyak pada 2020. Tentunya, pemerintah tidak
tinggal diam menghadapi masalah pelik di bidang sumber energi untuk pembangkit
listrik ini. Dalam beberapa tahun terakhir, langkah mencari energi alternatif
giat dilaksanakan.
Skema PLTN |
Listrik umumnya dibangkitkan
dari turbin yang digerakkan uap air. Uap air dihasilkan dengan mendidihkan air
dalam bejana (boiller). Bahan bakar yang sering digunakan untuk mendidihkan air
inilah yang membedakan nama pembangkit listrik. Pembangkit yang menggunakan
bahan bakar fosil, biasanya disebut dengan Pembangkit Listrik Tenaga Uap
(PLTU). PLTU sudah tersebar di Indonesia, dan telah mengalami masalah
pergiliran pasokan arus listrik, harga, bahkan polusi. Masalah pergiliran
pasokan arus listrik disebabkan masalah pasokan yang terbatas, karena tak
adanya cadangan sumber listrik. Tentunya, harga dipastikan naik terus mengikuti
harga minyak bumi. Sementara itu, penggunaan batu bara untuk suatu PLTU mulanya
memang murah, namun sumber polusi banyak dikeluhkan. Jika gas, seperti
SO2,CO2,NOX, sebagai hasil pembakaran disaring menggunakan filter, maka harga
listrik menjadi tinggi dan tak kompetitif dengan pembangkit lain. Sebaliknya,
jika tidak dilakukan tindakan, akan menyebabkan pencemaran dan merusak
lingkungan. Selain itu, PLTU batu bara masih mengeluarkan radioaktif alam hasil
pembakaran dan debu hasil pengangkutan yang setiap tahunnya mencapai 300.000
ton pada kapasitas 1000 Mega Watt elektrik (MWe).
Alternatif sumber energi
pembangkit daya yang paling aman dan murah adalah tenaga air. Namun tenaga air
ini sangat tergantung curah hujan dan memerlukan lahan yang sangat besar untuk
menampung air. Padahal lahan yang digunakan cukup subur untuk ditanami tanaman
pangan, serta jumlahnya terbatas, dan lokasinya tak dapat dipindahkan sesuai
keperluan. Demikian pula dengan panas bumi, selain lokasi, teknologi untuk
mengatasi belerang belum ada.
Satu lagi bahan bakar untuk
mendidihkan air yaitu uranium 235 dalam PLTN. Banyak pengamat energi menilai,
PLTN sangat ekonomis, kira - kira sama dengan harga PLTU batu bara tanpa
pengolahan limbah. Sebenarnya, ada lima tipe PLTN yang banyak digunakan negara-negara
maju saat ini. Dua tipe Boilling Water Reactor (BWR) dan Pressurized Water
Reactor (PWR) dari Amerika. Kedua tipe, BHWR atau PHWR dengan pendingin air
berat yang dikenal dengan tipe CANDU dari Canada, serta satu tipe dengan
pendingin gas yang dikembangkan di Amerika dan Inggris.
Pemerintah Indonesia pun
akhirnya menyusun rencana pemanfaatan teknologi nuklir untuk pembangkit
listrik. Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten), bisa dibilang, instansi yang
paling bertanggung jawab terhadap ’aturan main’ pembangunan PLTN di Indonesia.
Sebagai institusi bidang pengawasan, Bapeten diberi mandat membuat peraturan
termasuk memberikan izin dan melakukan inspeksi bagi para pengguna
teknologi nuklir di
Indonesia. Ada tiga prinsip utama yang menjadi landasan instansi yang baru
dibentuk pada 1998 ini, yaitu keselamatan (safety), keamanan (security), dan
kedamaian (safeguards) . Acuan dasar pengembangan nuklir di Indonesia, yaitu UU
No.10/1997 tentang Ketenaganukliran. Dan sekitar Desember 2006 diterbitkan
Peraturan Pemerintah No.43/2006 tentang Perizinan Reaktor Nuklir yang merupakan
hasil rembug 15 departemen terkait, termasuk Bapetan. Dari sisi teknis tenaga
nuklir, Badan Tenaga Atom Nasional (Batan) bahkan sudah bersusah payah mencari
lokasi yang dinilai tepat untuk dibangun PLTN. Dari sekitar 14 tapak yang
ditelusuri di seluruh wilayah Indonesia, akhirnya ditentukan sekitar lima
lokasi yang dinilai layak untuk dibangun PLTN. Namun, kemudian ditentukan satu
wilayah yang paling layak dibangun, yaitu di Semenanjung Muria, Kabupaten
Jepara.
Rancangan PLTN Indonesia |
Menurut Ferhat Aziz, Kepala Biro Kerjasama Hukum
dan Humas Badan Tenaga Atom Nasional (Batan) sedikitnya 15 faktor dinilai untuk
kelayakan tapak PLTN di Muria tersebut, lima diantaranya berkaitan dengan
faktor keselamatan pembangunan. ''Boleh dibilang, penyiapan lokasi ini sebagai
insentif pembangunan PLTN tahap awal dari Batan,'' ujarnya. Untuk Indonesia,
Batan merekomendasikan pengembangan PLTN jenis PWR (pressurized water reactor)
atau 'reaktor air tekan'. PWR menggunakan dua sistem pendingin, primer dan
sekunder, berbeda dengan jenis BWR (boiling water reactor) yang hanya
mengggunakan satu sistem pendingin. ''PWR paling banyak digunakan negara-negara
di dunia, seperti Amerika Serikat, Korea, Jepang dan negara-negara di Eropa,'' ujarnya.
Sebenarnya, ada lima tipe PLTN yang banyak
digunakan negara-negara maju saat ini. Dua tipe Boilling Water Reactor (BWR)
dan Pressurized Water Reactor (PWR) dari Amerika. Kedua tipe, BHWR atau PHWR
dengan pendingin air berat yang dikenal dengan tipe CANDU dari Canada, serta
satu tipe dengan pendingin gas yang dikembangkan di Amerika dan Inggris. Namun
hal itu belum cukup memuluskan jalan pengembangan tenaga nuklir untuk
pembangkit daya. Menurut Dr Ir As Natio Lasman, Deputi Bidang Pengkajian Keselamatan
Nuklir Bapeten, setelah dikeluarkan peraturan pemerintah, harus ada pula
Keppres dan peraturan Kepala Bapeten. Salah satu regulasi yang kini tengah
ditunggu kalangan bidang nuklir, yaitu Keppres mengenai Tim Nasional
Pembangunan Nuklir. Keppres tersebut kini tengah digodok di Sekretariat Negara
RI, dan menunggu disahkan Presiden. Tim Nasional yang dibentuk berdasarkan
Keppres tersebut nantinya akan bertugas menyusun organisasi kepemilikan PLTN.
''Timnas akan menentukan kepemilikan PLTN apakah swasta murni, atau campuran
swasta dan pemerintah. Jika sudah ditetapkan , maka investor baru bisa masuk.
Namun, jika pemerintah menunda keluarnya Keppres tersebut maka dapat dipastikan
target operasional PLTN di Indonesia akan tertunda,'' ujarnya.
Tidak hanya itu saja, sejumlah investor sudah
ancang-ancang membangun PLTN di Indonesia. ''Saya tidak bisa menyebutkan nama
perusahaan tertentu, namun berasal dari Korea, Jepang,Perancis, Amerika
Serikat, termasuk Rusia,'' ujar Ferhat. Sedangkan perusahaan dalam negeri yang
dinilai siap membangun PLTN di Indonesia, yaitu PT Pembangkit Listrik Negara
(PLN). “Dari sisi sumber daya manusia sudah tentu berpengalaman dalam bidang
pembangkit tenaga listrik, tinggal menambah kemampuan di bidang nuklir. Bisa
mengambil dari sekolah atau perguruan tinggi yang mendalami bidang nuklir,”
imbuhnya.
Disaat pemerintah bergiat menyusun perangkat aturan
PLTN, sebagian kalangan masyarakat justru bersikap sebaliknya, yaitu menentang
pengembangan PLTN di Indonesia. Bupati Kudus, HM Tamzil, misalnya, menolak
rencana pembangunan PLTN di Semenanjung Muria. Dia kabarnya telah mengirim
surat kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, DPR, dan DPD untuk mengambil
kebijakan yang berpihak pada rakyat, yakni membatalkan rencana pembangunan PLTN
di Muria. Alasannya pembangunan PLTN belum mendapatkan kesepakatan dari
masyarakat. “Sangat tidak arif dan bijaksana jika pemerintah tetap memaksakan
kehendak membangun PLTN, sementara masyarakat di sekitar lokasi pembangunan
PLTN menolaknya.”
Ketidak setujuan pembangunan PLTN juga dilontarkan
Praktisi kelistrikan yang juga Direktur Institut Bisnis dan Ekonomi Kerakyatan
(Ibeka), Tri Mumpuni. “Pemerintah sebaiknya membatalkan rencana pembangunan
PLTN di Pulau Jawa. Ketergantungan pada negara lain sangat tinggi. Kenapa kita
tidak mengembangkan pembangkit listrik yang bisa dibangun sendiri, karena masih
banyak potensi yang lain seperti panas bumi dan air,” Kata Mumpuni, yang sejauh
ini telah membangun 60 pembangkit listrik tenaga mikro hidro di beberapa
daerah.
Dari kalangan LSM pun juga melontarkan komentar
yang senada. Mereka berpendapat jika pembangunan PLTN dianggap merupakan suatu
opsi untuk memenuhi kebutuhan listrik dalam negeri, maka perlu dilakukan studi
atas aspek kelayakan pembangunan PLTN, yang mencakup berbagai aspek, antara
lain aspek ekonomi, kelayakan teknis pilihan lokasi (apakah lokasi termasuk
dalam daerah patahan yang secara geologis rentan terhadap gempa, bahaya
gelombang laut atau tsunami), aspek lingkungan (pencemaran, radiasi nuklir, dan
kemungkinan terjadinya kecelakaan nuklir), aspek sosial budaya dan psikologis
masyarakat, serta aspek pembiayaan dan investasi proyek. Hasil studi kelayakan
nantinya harus secara transparan disampaikan pada masyarakat.
Penolakan rencana pembangunan PLTN terus
menggelinding bak bola salju. Melihat keadaan seperti ini, Gubernur Jawa Tengah
Mardiyanto berpendapat, jika sampai sekarang terus terjadi penolakan dari
masyarakat, itu berkaitan dengan sosialisasi rencana pembangunan PLTN belum
maksimal. Semestinya sosialisasi menjadi catatan tersendiri bagi Batan. Sebab,
masyarakat khawatir kalau-kalau terjadi efek-efek dari PLTN yang tidak
diinginkan. Untuk itu, Badan Tenaga Atom Nasional (Batan) diminta memberi
penjelasan secara gamblang kepada masyarakat sekitar calon lokasi PLTN tentang
manfaat dan dampak PLTN.
Menurut kajian Batan tahun 2003, diperoleh gambaran
di masa depan Indonesia menghadapi krisis energi. Apalagi dengan cadangan
sumber daya yang terus menipis diperlukan upaya-upaya serius mengatasinya. Jika
tidak maka Indonesia akan dihadapkan pada krisis energi berkelanjutan.
Data yang ada menyebutkan cadangan sumber daya
minyak bumi di Indonesia saat ini sekitar 321 miliar barel (1,2% potensi
dunia), gas bumi sekitar 507 TSCF (3,3% potensi dunia), batubara sekitar 50
miliar ton (3% potensi dunia), panas bumi sekitar 27 ribu MW (40% potensi
dunia), tenaga air sekitar 75 ribu MW (0,02% potensi dunia). Apabila tingkat
produksi tetap seperti tingkat tahun 2002 dan tidak ada cadangan terbukti yang
baru, maka cadangan minyak bumi diperkirakan akan habis dalam waktu kurang 10
tahun, gas bumi dalam waktu 30 tahun dan batubara dalam waktu 50 tahun.
“Munculnya PLTN sebagai solusi akhir mengatasi krisis energi di masa depan perlu menjadi pertimbangan, tapi munculnya keluhan masyarakat agaknya patut dicermati kalangan pengambil keputusan.”
Post a Comment
Jika ingin berkomentar, silahkan menggunakan kata-kata yang baku, berkomentarlah sesuai dengan tema yang dibahas. Dilarang untuk promosi dalam bentuk apapun, memaki atau hanya sekedar spam.
Terima Kasih Jika Anda bersedia mematuhi aturan dari admin..
Selamat menikmati..